Semangkuk Mie Instan dan Kenangan Ibuku

By Chela Ribut Firmawati - August 30, 2025

"Ibu... Mau maem mie, boleh?" 

Tanpa banyak balasan bicara, ibuku menuju tempat dimana sekardus mie instan yang diberikan oleh rekan kerja bapak disimpan. Kemudian dengan cahaya lampu yang redup dini hari itu, satu per satu sumbu kompor ibu nyalakan dengan api yang membakar sebatang lidi secara perlahan. Kutemani ibu di dapur sederhana kala itu, dan semangkuk mie instan menjadi bekalku menuju alam mimpi. Dan kuingat malam itu adalah malam pergantian tahun entah tahun berapa. 

Aku mengingat betul bahwa malam itu hujan turun begitu deras. Lik Marno penjual terompet musiman itu berteduh di rumah tetangga. Aku cukup melihat terompet klasik itu. Meski seharga dua ribu rupiah, aku enggan meminta ke ibu karena yang kutahu ibuku tidak punya uang. Namun ketika aku pulang dan memilih untuk bebas menonton TV dan pesta kembang api di monas, ibu mengajakku ke rumah Lik Kumaidi yang juga membuat terompet untuk di jual. 

Uang seribu lima ratus rupiah saat itu ibu sodorkan dan aku pulang membawa sebuah terompet klasik dengan hiasan kertas mengkilap berwarna hijau dan keemasan. Aku nyengir bahagia meski rintik hujan masih juga turun meski tak sederas sebelumnya. Hingga pergantian jam aku dan ibu nantikan, lalu ibu mengajakku duduk di depan rumah untuk meniup terompet. Tanda tahun sudah berganti sambil melihat cahaya kembang api dari kejauhan dan lalu lalang  kendaraan bermotor cukup ramai. Mungkin baru pulang dari alun-alun Purwodadi. Kata ibuku. 

Kembali ke semangkuk mie rebus kala itu. *sebentar nangis dulu.... 

Ibu memberikan semangkuk mie rebus itu dengan diiringi ucapan "nggak boleh sering makan mie instan ya, nduk!". Tapi malam itu.. Ibu membiarkanku menghabiskan semangkuk mie rebus itu yang rasanya terenak di dunia. Aku tawarkan seseuap untuk ibu tapi beliau menolak. Dan tatapan ibu tidak pernah lepas memperhatikan aku saat aku makan malam itu. 

Begitu mangkuk bersih, kuucapkan terima kasih ke ibu dan beliau memintaku untuk segera tidur di tempat tidur  yang berbeda.  Dengan sekat dari lemari pakaian yang dijejer rapi. Sesederhana itu, mie rebus yang kumakan dini hari, membuatku terlelap hingga pagi hari di tahun yang sudah berganti.

Dan kenangan itu membekas  hingga siang ini ketika anak sulungku merajuk untuk makan mie instan. "Boleh ya ma... Pakai telur deh biar ada proteinnya!" Tegasnya. Kemudian aku bergegas mengiyakan sambil menghabiskan sepiring nasi dengan sayur becek pemberian tetanggaku yang sedang punya hajat aqiqah anaknya. 




Dengan penuh emosional, aku menuangkan mie yang sudah mendidih ke mangkok itu. Sembari mengingat mie rebus buatan ibuku malam itu. Air mata menghangat di sudut mata lalu aku terisak. Semangkuk mie rebus siang itu... Membuatku semakin rindu dengan ibuku. Mbah Uti dari anak-anakku. 

Kehilangan itu tidak sepenuhnya sembuh... 

Berulang kali aku meyakinkan bahwa aku sudah tidak berduka atas kepergian ibu tiga tahun lalu. Beberapa kali aku berkata pada diri sendiri bahwa "ibuku tetap ada!". Tapi sayangnya ruang di hati itu tetap ada yang kosong, terasa hampa dan menyesakkan dadaku setiap waktu. 

Aku tidak bisa lagi memeluk tubuhnya, mencium tangannya, memastikan obat sudah diminum pagi siang dan sore, bahkan saat malam aku tidak bisa lagi sesekali mendengarkan suaranya ketika batuk. Yang lebih menyesakkan lagi adalah aku tidak bisa kembali menjadi seorang anak disaat aku lelah menjalankan peranku sebagai ibu juga istri. 

Bahkan ketika aku melihat daster batik yang bagus aku cukup memegangnya sambil bergumam "ini cantik kalau dipakai ibu!". Yang ada aku hanya bisa membawakan bunga mawar dan sedap malam. Itupun disaat aku tatag hati untuk mengunjungi pusaranya. Selalu menangis melihat namanya di nisannya. Tapi aku tak bisa berbuat banyak selain kirim doa. Sesering mungkin. 

Disaat aku tak baik-baik saja pun. Kupanggil ibuku namun tak juga datang. Bahkan dalam mimpiku pun ibu juga nggak datang. Entahlah... Di sana dia tahu nggak sih kalau anak yang kata sodara-sodaranya ini paling nakal sedang merindukan sosoknya. Yang bisanya nangis kejer, tantrum di samping suaminya dan dikira habis berantem. 

Duka itu... Membuatku serapuh ini sebenarnya. Bersama dengan kenangannya. Berbagai pesan yang pernah beliau tinggalkan. Juga kenangan yang tidak bisa kucatat satu per satu. Kuingat dan kulihat langsung kala itu. 

Semangkuk mie instan siang kemarin berhasil membuat hatiku semakin biru. Karena rindu... Hanya untuk ibuku. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)