Antara Mutiara, Awan dan Mbah Uti

By Chela Ribut Firmawati - November 21, 2025

Seperti biasa setiap kali weekdays dan nggak ada drama "aku capek", scoopy si hitam merah ini akan semarak dengan celotehan gadis mungilku. Mutiara. Anak PAUD dengan body agak bongsor ini memang sengaja disekolahkan di dekat sekolah mama karena di rumah berantem terooosss sama Berlian. Ya sudah... Yang tadinya dia nggak berencana aku sekolahkan PAUD, tiba-tiba aja dia jadi anak PAUD. It's mean, setiap hari mama jadi kang ojegnya Ara juga, nih. 



Agak beda emang jika dibandingkan dengan mbak nya. Kalau dulu baik di kursi depan atau goncengan belakang, Intan seringnya nyanyi. Kalau Mutiara justru asik dengan imajinasinya sendiri atau bahkan sekedar diem aja sambil pegangan perut mama yang kayak squizy katanya. 

"Mama... Itu awan bentuknya kayak kepala buaya!" 

"Mama.. Kok awannya ikut aku terus sih mah?"

"Mama.. Ada awan hitam itu yang warnain siapa?"

"Mama... Awannya itu lho lihat, bagus ya!"

Bahkan dia bersorak "yeee!!! Aku suka awan, mah!" 

Aki tidak hanya mengiyakan dia yang sedang melaporkan kekaguman dan kesukaannya dengan awan. "Kenapa Mutiara suka sama awan, sih?"

Mulut mungilnya menjawab dengan nada yang sangaaaaaaaattttt manis "karena di awan ada Mbah Utiku, ma!" 

😭😭😭😭😭😭😭😭


Mbah Uti dan Mutiara, Waktu Itu... 



Kematian memang sebaik-baiknya pengingat bagi manusia. Apalagi manusia macam aku yang banyak sekali dosanya. Tetapi hal yang paling aku nggak siap tentang kematian adalah kematian ibuku. Juga aku yang sampai detik ini juga masih takut mati. Hiks. 

Ibuku berpulang ketika Mutiara berusia 4 bulan. Sedang lucu-lucunya, gemoy sekali, dikurung di rumah karena dia bayi corona dan pada suatu petang dia melihat kembali mbah utinya yang terbujur kaku dengan senyum di wajahnya. Teduh, ringan, tak ada beban dan cantik. Dengan selembar kain jarik yang persis dia pakai ketika datang di mimpiku malam itu dan bilang "ibu uwis mari, nduk. Ibuk tak pulang." 🥲

Semenjak dia ditinggal Mbah Utinya ada  perubahan dalam diri Mutiara yang memang tampak tidak seceria biasanya. Dan itu berlangsung sampai sekitar enam bulan. Yang biasanya suka mengoceh tiba-tiba dia jauh lebih pendiam. Bubbling hanya sesekali sampai aku takut aja kalau dia ada spech delay. Tapi ternyata setahun berlalu pelan-pelan dia mulai ngoceh lagi dan menjadi seceriwis Mutiara hari ini. 

Aku rasaaaa... Dia juga merasakan kehilangan Mbah Utinya. Sampai akhirnya dia selalu bilang bahwa "mbah Utiku sehat di sana ya, mah. Rumahnya sudah di awan jadi aku lihat dari sini!" 

Aaaaaaaa.... Monangissss setiap dia bilang begitu. Tapi bagaimanapun aku mencoba memvalidasi perasaan dia. Terkadang dia menanyakan Mbah Utinya dulu kenapa kok meninggal, dia bilang kangen mbah Uti, dia yang selalu manggil "mbah uti" setiap melintasi area pemakaman dimana mbah uti dimakamkan. Dan dia yang paling excited saat aku flashback cerita tentang mbah Uti dengan mbak Intan. 

Bahkan dia yang paling sigap memelukku sambil menepuk bahuku setiap kali aku menangisi ibuku. "Mama... Gapapa... Ini cuma mimpi!" ya jadinya nangis sambil ketawa donk ya. Hahaha. 

Jika aku suka senja dan semuanya tentang senja, Mutiara suka dengan awan karena bagi dia ada Mbah Uti di sana. Kuakhiri tulisan ini karena udah nggak kuat nahan nangis. Bye! 


  • Share:

You Might Also Like

1 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)