Aku tahu hati kita saat itu sedang dingin. Tak lagi sebeku es di Antartika. Hanya saja dingin karena begitulah bumbunya dalam rumah kita. Dan aku berterimakasih bahwa ternyata meski sama-sama dingin kita tetap memilih untuk satu. Sabar terus yaaaa...
Laju mobil memang mengelilingi kota yang tidak seberapa luas ini. Soal tata kota ya jangan ditanya lagi lah. Dikritik salah nggak dikritik makin menjadi aja nih banjit tahunan nantinya. Udahlah.. Nggak penting selagi rumah kita baik-baik aja. Soal kota kan udah ada yang ngurusin. Tinggal kita aja ngawal, ngawasin kalau perlu laporin. Itupun kalau mau.
"Aku mau kopi, pah!" Ucapku singkat dengan wajah masih sedikit cemberut. Sulungku yang cantik ikutan merajuk "beliin donk sayang, biar ngambegnya hilang!". Hatiku tertawa namun aku tetap memasang wajah cool. Gengsi.
Dia menyeberangi jalanan yang cukup ramai itu. Container kopi berwarna merah itu kebetulan sepi. Namun tak berselang lama mulai datang para pelanggan. Konon, ketika kita datang ke suatu tempat yang awalnya sepi lalu menjadi ramai itu artinya kita menarik rejeki untuk tempat itu. Jika benar, keberkahan rejeki bisa untuk khalayak banyak dan limpahkan tubuh ini sebagai magnet rejeki yang lain. Eee... Paling tidak supaya Expander ultimate seri paling tinggi terparkir di garasi rumah lah ya tanpa harus masukin SK ke BPD.
Di balik kaca mobil aku memperhatikan seluruh detail tubuh lelakiku yang berbalut celana jeans pendek dan kaos hitam. Meski detail tubuhnya sudah kunikmati selama sepuluh tahun belakangan ini, tetap saja dia menjadi candu untukku. Itulah mengapa aku merasa tidak nyaman jika ada perempuan lain yang dekat bahkan menggoda dia. Jangan salah, dia sekarang lebih banyak cerita soal kesehariannya. Karena kami berjanji apapun itu saat ini jangan ada yang kita sembunyikan satu sama lain.
Dan seperti biasa, dinginku saat itu karena aku sedang cemburu. Yang tak lagi buta seperti saat itu. Kenapa? Karena aku merasa memiliki dia meski tetap saja dia dan hatinya milik Tuhan sepenuhnya. Pun dengan diriku. Yang bisa aku kendalikan adalah responku. Selebihnya biar nalar dia saja yang menyelaraskan dengan nurani. Toh sudah bapack-bapack club fourtys juga sih.
Hanya saja aku sendiri tak habis pikir kenapa juga ujiannya adaaa saja. Tapi aku percaya itu semua adalah cara agar kami semakin erat, saling sayang dan saling peduli juga saling menghargai. Sesungguhnya usaha memperbaiki itu tidaklah muda tapi kami berproses bersama. Ketika ada air mata dan amarah, tak lagi saling menghindar. Duduk berhadapan dan mengatakan apa yang dirasa. Dan itu valid. Setelahnya menangis dalam pelukan sampai terlelap. Kembali memastikan dia atau aku hadir sepenuhnya dengan penuh kesadaran.
Aku dan kopi malam itu menjadi penawar dinginnya hati. Dia mengupayakan meski tetap saja di cengcengin anak sulungnya. Hingga pada akhirnya "aku jauh lebih suka mama sama papa begini!" Yang selalu bersorak ketika kami berpelukan bahkan cemburu ketika kami saling berciuman hahaha. Lelaki itu adalah miliknya juga adik-adiknya. Bukan milik mamanya. Baiklah... Jika sainganku hanya ketiga makhluk yang hadir dari rahimku sendiri, enteng lah rasanya. Apapun itu... Terimakasih sudah mengupayakan segalanya.
Tulisan di saat PMS ku sudah hilang dan mood sedang baik-baik saja.

.png)


0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)