Ternyata, Aku Bisa Melewati September dengan Suka Cita

By Chela Ribut Firmawati - October 14, 2025

Lampu kamar meredup, aku memeluk tubuh lelaki yang sedang memejamkan mata itu. Dia membalas pelukanku dan segera menyuruhku untuk tidur juga. Anak-anak sudah terlelap di alam mimpi mereka masing-masing. Bukannya segera tidur, namun aku menangis sesenggukan. 




Seperti biasa dia hanya diam namun paham. Semakin kencang dia mendekapku dan kembali mengatakan untuk segera tidur. Dasar aku yang memang overthinking terlebih ketika menuju alam mimpi. Dan malam itu aku sedang tidak overthinking, melaikan memang benar-benar takut. 

"Kamu lupa ya?" tanyaku

Dia hanya merespon dengan deheman kalau kata orang Jawa. Lagi aku bertanya karena penasaran "Atau masih ingat banget?" dan dia kembali berdeham. Dengan tenang dia menjawab dengan tetap memejamkan mata "Aku nggak lupa tapi juga nggak mau ingat. Semua udah cukup!" 

Lalu aku, nangis donk!

****

Hidupku ternyata belum sepenuhnya sembuh dengan trauma. Bahkan setahun lalu kejadian itu membekas dan membuat trauma tersendiri dalam diriku. Asli, hidup dalam trauma itu sangat tidak enak, kawan!

Dulu mana pernah ibuku bilang kalau hidup menjadi orang dewasa itu mudah. Tidak, sama sekali ibuku nggak pernah cerita. Yang dia perlihatkan adalah hidupnya baik-baik saja. Serba kecukupan dalam hal ekonomi meski KDRT dan selingkuh menjadi luka besar bagi ibuku sampai akhir hidupnya. 

Hingga akhirnya aku menjalani hari demi hari dengan kekuatan dari anak-anakku. Ya, ketiga anakkulah yang menjadi alasan aku kuat meski sesekali aku menangis sendiri di kamar. Anak pertamaku yang tiba-tiba heran kenapa mamanya menangis sesenggukan. Anak keduaku yang bergegas memelukku dan bilang "gapapa ya ma, Ini cuma mimpi" dan itu dia ucapkan berkali-kali. 

Bahkan aku takut jika September itu bukanlah September ceria seperti kata Yuni Shara. Menulis ini akupun dengan menangis. Terkesan mengumbar cerita tapi aku butuh untuk sekedar cerita. Karena setelah itu aku berjalan hanya untuk anak-anakku. Tidak lagi berharap lebih. Aku bahagia, aku tertawa paling keras diantara teman-teman, tapi kadang luka itu sakit seperti ketika tersiram alkohol 70%. Perih


Meskipun begitu aku tetap merasa terberkati. Drama yang belum hilang rasa kecewa beberapa hari sebelumnya, ego yang harus aku turunkan dan berusaha nrimo. Bapak berikan doa di 29 September petang itu. Tumpeng sederhana yang beliau pesan di warung Budhe Warno serta diikuti doa dari bapak juga sanak saudara yang bapak undang ke rumah. Sederhana... penuh makna.



Namun, kalau boleh aku katakan ke Bapak dan Mbak "Jangan bikin aku nangis  bisa kan? berat lho jadi anak terakhir dengan segala prasangka yang ada!"

Juga...

Sebuah roti tart warna pengantin. Pink putih layaknya kue pengantin!! juga 29 September malam itu tiba-tiba papa bawa dari kamar depan. Alisku yang baru setengah jadi, lilin yang belum nyala karena korek api tidak ditemukan di rumah, juga antusiasme Mutiara dan Berli dengan kue dan lilin mewarnainya. Teriakan kecil ...

"ciyee mama nangis!!!" 

"dicium donk mamanya!"

"dipeluk donk pa, jangan dibuat nangis terus!"

Lantang diteriakkan Intan, anak pertamaku. Sambil dia berinisiatif mengabadikan momen malam itu. Anak itu memang sudah mulai kurang nyaman untuk on cam. 



Banyak doa juga hal-hal yang aku manifesting setiap harinya bahkan setiap detiknya. Tetapi yang selalu aku minta semenjak membuka lembar baru itu tudak pernah berubah, aku mau disayang, aku mau dimanja, aku mau di prioritaskan, aku happy, aku sehat, aku aman, aku tenteram, madhep mantep. Rahayu. 


Berkah Tuhan banyak sekali... Murid-murid di kelas dengan suka cita memberikan kejutan, teman-teman di kantor, teman dekatku yang sangat care. Thank you... My heart full of love. Thank you...  ❤❤❤❤



Dan aku... Bisa melewati September ini dengan suka cita. Thanks God

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)